OPINI: Hari Tenang Yang Tidak Tenang

Hari tenang dalam pemilihan serentak tahun 2020 adalah masa dimana peserta dan pemilih diberikan kesempatan untuk berkontemplasi. Untuk merenung setelah hiruk pikuk kampanye selama 71 hari. Bagi pasangan calon, masa tenang bisa menjadi waktu yang berharga untuk beristirahat setelah 2 bulan lebih berkeliling, memperkenalkan diri kepada masyarakat untuk menyampaikan visi misinya sebagai calon kepala daerah. 
Bagi pemilih, masa tenang merupakan masa untuk berpikir, merenung dan memutuskan siapa yang akan dipilih pada saat pemungutan suara menjadi kepala daerah setelah mencermati visi misi sang calon. Tetapi bagi KPU dan Bawaslu, masa tenang justru bukan saatnya untuk berleha-leha. 
KPU harus memastikan bahwa logistik pemilihan sudah terdistribusi ke semua desa untuk selanjutnya bermuara di TPS pada pagi hari saat pemungutan suara. Bagi Bawaslu sendiri, masa tenang justru menjadi saat-saat yang harus diwaspadai. 
Hal ini karena para calon dan tim suksesnya justru menjadikan masa tenang sebagai saat yang tepat untuk mengeluarkan senjata andalan mereka yaitu politik uang. 
Politik uang bukanlah sesuatu yang baru. Era politik uang ini telah dimulai sejak pemilihan kepala desa. Politik uang dalam pemilihan kepala desa bukanlah sebuah larangan karena tidak diatur dalam regulasi. Masyarakat mungkin berpikir kalau untuk pemilihan kepala desa yang take home pay-nya lebih kecil saja, seorang calon kepala desa berani membayar suara, bagaimana dengan calon kepala daerah yang “sabetannya” pasti lebih banyak? 
Begitu mungkin pemikiran masyarakat kecil di lingkungan kita. Harus diakui tantangan untuk memberikan edukasi soal bahaya politik uang seperti menghantam sebuah tembok besar yang sulit untuk dirobohkan. Pemahaman masyarakat “tidak ada duit, tidak nyoblos” bisa jadi merupakan akumulasi kekecewaan ketika calon yang dipilih ingkar janji dan melupakan semua janji yang pernah diikrarkan ketika mencalonkan diri. 
Jangankan memenuhi janjinya, warga masyarakat banyak yang tidak pernah lagi melihat wajahnya ketika dia sudah terpilih. Mungkin masyarakat bisa melihat kembali wajahnya ketika dia tertangkap oleh KPK. Bagi Bawaslu, masa tenang bisa jadi menjadi masa yang lebih sibuk dan tidak tenang karena banyaknya laporan dari masyarakat yang juga menemukan adanya kasus politik uang. 
Seperti halnya yang dialami oleh seorang teman yang kebetulan menjadi anggota Bawaslu. Dimasa tenang ini setidaknya terdapat tiga laporan dugaan tindak pidana pemilihan yang harus ditangani dengan waktu yang sangat terbatas. Berdasarkan regulasi, waktu yang diberikan untuk penanganan pelanggaran adalah 5 (lima) hari kalender. 
Bayangkan, bahkan kepolisian saja dalam menangani perkara pidana diberikan waktu 120 hari alias 3 (tiga) bulan. Tetapi untuk Bawaslu hanya 5 (lima) hari, “pening saudara-saudara”. Belum lagi terbatasnya sumber daya manusia yang menangani laporan tersebut. Tetapi bagaimanapun itu adalah resiko yang harus diambil dan dijalani karena sudah merupakan amanat undang-undang. 
Bagaimanapun rumit dan berlikunya perkara yang dilaporkan, Bawaslu harus menangani perkara tersebut, kalau tidak ingin dilaporkan ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) karena dianggap tidak profesional. Biasanya jika terjadi laporan dugaan pelanggaran pidana, Bawaslu bersama kepolisian dan kejaksaan akan melakukan rapat bersama dalam sentra gakkumdu. Disitulah nanti perkara tersebut akan diputuskan, apakah satu perkara cukup bukti dan bisa dinaikkan ke penyidikan atau tidak. 
Tantangan terberat dipembahasan dalam sentra gakkumdu adalah bawaslu sudah harus menyajikan dua alat bukti sehingga kepolisian dan kejaksaan bersepakat untuk menaikkan perkara tersebut ke penyidik kepolisian. Berdasarkan pengalaman yang terjadi, putusnya perkara dugaan pidana adalah sulitnya bawaslu menyajikan bukti-bukti yang dibutuhkan tersebut. 
Sulitnya menyajikan dua alat bukti juga diakibatkan longgarnya regulasi terhadap terduga pelaku. Misalnya pelaku kabur dan tidak bisa ditemui atau tidak bisa diklarifikasi oleh Bawaslu selama masa penanganan yang hanya 5 (lima) hari itu, maka pelaku tersebut tidak bisa dilakukan upaya paksa. Hal ini berbeda jika kasusnya adalah pidana yang penanganannya dilakukan oleh kepolisian. 
Maka, hari tenang dimasa pemilihan sebenarnya bukanlah untuk penyelenggara, baik itu KPU maupun Bawaslu. Hal ini karena dimasa tenang, Bawaslu harus memastikan bahwa pelanggaran tidak terjadi justru dimasa menuju puncak perhelatan pemilihan. 


 ULIN NUHA, SH., MH 
 Anggota Bawaslu Kabupaten Demak 
 *artikel ini telah tayang di Buletin Bawaslu Jawa Tengah edisi 19/2020

0 Response to "OPINI: Hari Tenang Yang Tidak Tenang"

Posting Komentar