Bagi pemilih, masa tenang merupakan masa untuk berpikir,
merenung dan memutuskan siapa yang akan dipilih pada saat pemungutan suara
menjadi kepala daerah setelah mencermati visi misi sang calon. Tetapi bagi KPU
dan Bawaslu, masa tenang justru bukan saatnya untuk berleha-leha.
KPU harus
memastikan bahwa logistik pemilihan sudah terdistribusi ke semua desa untuk
selanjutnya bermuara di TPS pada pagi hari saat pemungutan suara. Bagi Bawaslu
sendiri, masa tenang justru menjadi saat-saat yang harus diwaspadai.
Hal ini
karena para calon dan tim suksesnya justru menjadikan masa tenang sebagai saat
yang tepat untuk mengeluarkan senjata andalan mereka yaitu politik uang.
Politik
uang bukanlah sesuatu yang baru. Era politik uang ini telah dimulai sejak
pemilihan kepala desa. Politik uang dalam pemilihan kepala desa bukanlah sebuah
larangan karena tidak diatur dalam regulasi. Masyarakat mungkin berpikir kalau
untuk pemilihan kepala desa yang take home pay-nya lebih kecil saja, seorang
calon kepala desa berani membayar suara, bagaimana dengan calon kepala daerah
yang “sabetannya” pasti lebih banyak?
Begitu mungkin pemikiran masyarakat kecil
di lingkungan kita. Harus diakui tantangan untuk memberikan edukasi soal bahaya
politik uang seperti menghantam sebuah tembok besar yang sulit untuk dirobohkan.
Pemahaman masyarakat “tidak ada duit, tidak nyoblos” bisa jadi merupakan
akumulasi kekecewaan ketika calon yang dipilih ingkar janji dan melupakan semua
janji yang pernah diikrarkan ketika mencalonkan diri.
Jangankan memenuhi
janjinya, warga masyarakat banyak yang tidak pernah lagi melihat wajahnya ketika
dia sudah terpilih. Mungkin masyarakat bisa melihat kembali wajahnya ketika dia
tertangkap oleh KPK. Bagi Bawaslu, masa tenang bisa jadi menjadi masa yang lebih
sibuk dan tidak tenang karena banyaknya laporan dari masyarakat yang juga
menemukan adanya kasus politik uang.
Seperti halnya yang dialami oleh seorang
teman yang kebetulan menjadi anggota Bawaslu. Dimasa tenang ini setidaknya
terdapat tiga laporan dugaan tindak pidana pemilihan yang harus ditangani dengan
waktu yang sangat terbatas. Berdasarkan regulasi, waktu yang diberikan untuk
penanganan pelanggaran adalah 5 (lima) hari kalender.
Bayangkan, bahkan
kepolisian saja dalam menangani perkara pidana diberikan waktu 120 hari alias 3
(tiga) bulan. Tetapi untuk Bawaslu hanya 5 (lima) hari, “pening
saudara-saudara”. Belum lagi terbatasnya sumber daya manusia yang menangani
laporan tersebut. Tetapi bagaimanapun itu adalah resiko yang harus diambil dan
dijalani karena sudah merupakan amanat undang-undang.
Bagaimanapun rumit dan
berlikunya perkara yang dilaporkan, Bawaslu harus menangani perkara tersebut,
kalau tidak ingin dilaporkan ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)
karena dianggap tidak profesional. Biasanya jika terjadi laporan dugaan
pelanggaran pidana, Bawaslu bersama kepolisian dan kejaksaan akan melakukan
rapat bersama dalam sentra gakkumdu. Disitulah nanti perkara tersebut akan
diputuskan, apakah satu perkara cukup bukti dan bisa dinaikkan ke penyidikan
atau tidak.
Tantangan terberat dipembahasan dalam sentra gakkumdu adalah bawaslu
sudah harus menyajikan dua alat bukti sehingga kepolisian dan kejaksaan
bersepakat untuk menaikkan perkara tersebut ke penyidik kepolisian. Berdasarkan
pengalaman yang terjadi, putusnya perkara dugaan pidana adalah sulitnya bawaslu
menyajikan bukti-bukti yang dibutuhkan tersebut.
Sulitnya menyajikan dua alat
bukti juga diakibatkan longgarnya regulasi terhadap terduga pelaku. Misalnya
pelaku kabur dan tidak bisa ditemui atau tidak bisa diklarifikasi oleh Bawaslu
selama masa penanganan yang hanya 5 (lima) hari itu, maka pelaku tersebut tidak
bisa dilakukan upaya paksa. Hal ini berbeda jika kasusnya adalah pidana yang
penanganannya dilakukan oleh kepolisian.
Maka, hari tenang dimasa pemilihan
sebenarnya bukanlah untuk penyelenggara, baik itu KPU maupun Bawaslu. Hal ini
karena dimasa tenang, Bawaslu harus memastikan bahwa pelanggaran tidak terjadi
justru dimasa menuju puncak perhelatan pemilihan.
ULIN NUHA, SH., MH
Anggota Bawaslu Kabupaten Demak
*artikel ini telah tayang di Buletin Bawaslu Jawa Tengah edisi 19/2020
0 Response to "OPINI: Hari Tenang Yang Tidak Tenang"
Posting Komentar