OPINI: Netralitas ASN dimasa kampanye

Masa kampanye untuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Demak telah dimulai pada 26 September kemarin hingga 5 Desember. Mesin partai telah dipanaskan dan tim kampanye pasangan calon sudah mengawali kegiatan kampanye untuk menggaet simpati calon pemilih. Kampanye sendiri berdasarkan Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017 adalah kegiatan menawarkan visi, misi, program Pasangan Calon dan/atau informasi lainnya, yang bertujuan mengenalkan atau meyakinkan Pemilih. Suasana kampanye dalam masa Pandemi Covid19 ini tentu saja tidak memungkinkan tim pasangan calon untuk menggelar kampanye dengan mengumpulkan massa, karena berdasarkan Peraturan KPU 13/2020 kegiatan pengumpulan massa sudah dilarang. Sehingga media social adalah salah satu media alternative bagi pasangan calon untuk melakukan kegiatan kampanye. Sesuai dengan regulasi di Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2020, pasangan calon diperbolehkan untuk berkampanye melalui media social. Diperbolehkannya kampanye melalui media social ini tentu saja membuat pasangan calon semakin mudah untuk mensosialisasikan visi, misi, dan program yang menjadi andalannya kepada calon pemilih. Begitu juga dengan calon pemilih, melalui media social pemilih lebih mudah berinteraksi dan memberikan saran ataupun kritik jika dirasa visi dan misi yang diusung tidak langsung bersentuhan dengan kebutuhan masyarakat. Pemilih oleh Undang-undang adalah warga Negara Indonesia yang sudah berusia 17 tahun atau sudah kawin yang terdaftar dalam pemilihan. Profesi pemilih inipun beragam, mulai dari pegawai swasta hingga pegawai negeri sipil (ASN) termasuk anggota TNI dan anggota kepolisian. Secara individu, ASN adalah warga Negara yang mempunyai hak berserikat dan berkumpul, serta memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Tetapi seorang ASN juga terikat dengan kode etik ASN sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014. ASN dituntut untuk selalu netral dalam setiap kegiatan pemilihan kepala daerah dan tidak terlibat dalam kegiatan kampanye. Pemilih dengan profesi ASN (yang mencakup PNS dan PPPK) harus berhati-hati dalam memberikan komentar dan jempol (like) dalam media social terhadap status akun media social pasangan calon karena berpotensi pelanggaran terhadap netralitas ASN karena dianggap mendukung pasangan calon tertentu. ASN harus mengetahui bahwa memberikan jempol (like) dalam media social secara substansi sudah menunjukkan keberpihakan. Netralitas ASN merupakan titik rawan dalam setiap kegiatan pemilihan terutama jika petahana Bupati atau Wakil Bupati menjadi peserta kontestasi lima tahunan tersebut. ASN seharusnya dapat berperan dalam membangun suasana yang kondusif dalam media social. Sesama ASN dapat saling menjaga dan mengingatkan agar tidak terjebak dalam euphoria kebebasan penggunaan teknologi dengan mendukung pasangan calon tertentu saat masa kampanye. Netralitas ASN Pegawai Negeri Sipil atau yang sekarang familier dengan istilah Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah warga Negara yang oleh Undang-undang diberikan hak memilih dan dipilih, mereka dalam kegiatan pemilihan Bupati ini diberikan hak untuk memilih calon Bupati dan wakilnya sesuai dengan pilihan mereka sendiri. Persoalannya adalah sebagai ASN mereka dibatasi oleh Undang-undang untuk tidak mengekspresikan calon pilihannya kecuali di bilik TPS saat pencoblosan. Pembatasan kepada ASN untuk tidak terlibat dalam kegiatan kampanye ini, seringkali menimbulkan kealpaan kepada ASN itu sendiri. Mereka sering lupa bahwa mereka tidak diperkenankan untuk mengekspresikan pilihannya kepada masyarakat walaupun hanya berupa pemberian jempol (like) dalam media social. Hal ini berbeda dengan anggota TNI/Polri, oleh Undang-undang secara tegas mereka tidak diberikan hak untuk memilih, sehingga persoalan netralitas TNI/Polri jarang terjadi. Pada saat kampanye, ASN dilarang untuk dilibatkan dalam kampanye sebagaimana Pasal 70 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah. Bahkan di Pasal 71 pejabat ASN dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye. Pelanggaran terhadap ketentuan diatas, bisa menyebabkan mereka diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak enam juta rupiah. Ketidaknetralan ASN ini memang sulit untuk dihilangkan, hal ini terjadi karena ASN merupakan struktur birokrasi yang akan melaksanakan kebijakan bupati dan wakil bupati yang terpilih. Melalui kepala daerah inilah mereka akan bisa mendapatkan kenaikan pangkat, terutama jika mereka merupakan bagian dari tim sukses saat pemilihan bupati dan wakil bupati. Hubungan antara birokrasi dan politik inilah yang menjadi pangkal netralitas ASN sulit untuk dihilangkan. Netralitas anggota ASN, TNI/Polri merupakan objek pengawasan dari Bawaslu berdasarkan Pasal 3 Peraturan Bawaslu Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pengawasan Netralitas Pegawai ASN, Anggota TNI, dan Anggota Polri. Sehingga ketika terjadi dugaan pelanggaran netralitas ASN, berdasarkan Peraturan Bawaslu Nomor 14 Tahun 2017 tentang Penanganan Pelanggaran pemilihan kepala daerah, Bawaslu memiliki kewenangan untuk menindak jika terdapat temuan atau laporan dari masyarakat tentang dugaan netralitas ASN. Bawaslu akan melakukan klarifikasi terhadap pihak-pihak yang diduga melanggar kemudian melakukan kajian dan membuat rekomendasi yang dikirimkan ke komisi ASN (KASN), karena kewenangan pemberian sanksi terhadap ASN yang diduga melanggar netralitas terdapat pada instansi masing-masing. Bawaslu berharap, ASN sebagai birokrasi mampu bersikap professional, netral dan bebas dari intervensi politik sehingga bisa menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa, serta mendukung pelaksanaan pemilihan bupati dengan mengekspresikan pilihannya hanya di bilik TPS.

0 Response to "OPINI: Netralitas ASN dimasa kampanye"

Posting Komentar